Namun, kebesaran masa lalu itu kini dihadapkan pada kenyataan yang mengkhawatirkan.
Aktivitas industri batubara, khususnya praktik penumpukan (stockpile) yang dilakukan secara sembarangan, menjadi ancaman serius bagi kelestarian situs ini.
Selama lebih dari satu dekade, aktivitas stockpile batubara menjamur di zona inti Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional (KCBN), terutama di Desa Muara Jambi, Tebat Patah, dan Kemingking Dalam.
OPINI Parkir Digital Kota Jambi: Gagasan Baik Tanpa Payung Hukum
Tumpukan batubara dan lalu lintas kendaraan berat tidak hanya merusak struktur fisik candi yang terbuat dari bata kuno, tetapi juga mencederai keaslian dan kesakralan lanskap budaya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas situs.
Persoalan ini menggambarkan konflik klasik antara kepentingan ekonomi dan pelestarian budaya.
Industri batubara memang berkontribusi terhadap pendapatan daerah dan menciptakan lapangan kerja, sehingga kerap dianggap sebagai sektor strategis (Wulandari, 2021).
Namun, dampak negatifnya tidak bisa diabaikan. Debu dan polusi udara mempercepat proses pelapukan struktur candi.
OPINI Penguatan Dana Desa Tematik Gizi: Fondasi Kesehatan dari Akar Rumput
Kebisingan dan getaran dari kendaraan berat memperburuk kondisi lingkungan. Gangguan visual akibat tumpukan batubara merusak lanskap budaya yang utuh, sebuah elemen penting dalam penilaian UNESCO terhadap kelayakan sebuah situs untuk dijadikan warisan dunia (UNESCO, 2023).
Ironisnya, berbagai regulasi telah disusun untuk melindungi kawasan ini. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya secara tegas mengamanatkan perlindungan kawasan cagar budaya dan zona penyangganya dari segala bentuk aktivitas merusak. Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Candi Muarojambi menetapkan zonasi konservasi sebagai bagian dari strategi pelestarian.
Bahkan, Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 135/M/2023 mengatur secara eksplisit pembatasan terhadap aktivitas industri pertambangan dan kelapa sawit di kawasan tersebut.
Namun, pada tataran implementasi, kebijakan perlindungan terhadap Candi Muaro Jambi mengalami defisit eksekusi.
Lemahnya penegakan hukum, fragmentasi koordinasi antarinstansi, serta rendahnya kapasitas dan pelibatan masyarakat dalam sistem pengawasan menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek, khususnya industri pertambangan.
Ketidakefektifan tata kelola ini berkontribusi langsung pada meningkatnya tekanan terhadap keberlanjutan kawasan situs.
Padahal, jika dikelola secara terpadu dan berbasis tata ruang konservasi, Candi Muaro Ambi berpotensi menjadi simpul strategis pengembangan wilayah berbasis budaya mencakup fungsi edukatif, spiritual, dan ekonomi kreatif.
Oleh karena itu, diperlukan reformulasi kebijakan berbasis kolaborasi multipihak, penguatan instrumen regulasi turunan, serta peningkatan kapasitas institusional di tingkat pusat dan daerah agar perlindungan warisan budaya tidak hanya menjadi jargon normatif, melainkan prioritas dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.
Untuk mengatasi persoalan ini, dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya sistematis, tetapi juga berani dan lintas sektor.
OPINI Makna Berkurban di Tanah Sepucuk Jambi Sembilan Lurah
Pemerintah daerah bersama pemangku kepentingan harus segera melakukan evaluasi dan audit terhadap seluruh perizinan aktivitas stockpile di sekitar kawasan situs.
Izin yang bertentangan dengan semangat pelestarian budaya perlu ditinjau ulang bahkan dicabut jika perlu.
Lebih dari itu, harus dibangun kolaborasi partisipatif yang melibatkan akademisi, tokoh adat, komunitas pelestari budaya, dan pelaku usaha untuk menyusun kebijakan berbasis data dan kearifan lokal.
Strategi pembangunan ekonomi alternatif juga perlu dikembangkan.
Penguatan sektor pariwisata sejarah, edukasi berbasis situs, dan ekowisata budaya adalah contoh pendekatan yang tidak hanya menjaga keberlanjutan situs, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat sekitar.
OPINI Potret 100 Hari Kinerja Gubernur Jambi
Pelestarian Candi Muaro Jambi bukan sekadar persoalan kebudayaan lokal, tetapi mencerminkan komitmen bangsa dalam menjaga kesinambungan peradaban.
Bila kita gagal melindunginya, maka kita juga gagal merawat jati diri kolektif sebagai bangsa yang besar.
Jika upaya perlindungan tidak segera diperkuat, maka risiko hilangnya warisan budaya yang tak tergantikan akan menjadi kenyataan yang disesali di kemudian hari.
Penegasan ini semakin menekankan bahwa urgensi pelestarian Candi Muaro Jambi tidak hanya bersifat simbolik, tetapi menyangkut tanggung jawab strategis yang harus diwujudkan secara konkret dalam kebijakan dan tindakan.
Menjaga Candi Muaro Jambi bukan semata urusan pelestarian situs sejarah, tetapi merupakan refleksi nyata dari komitmen bangsa dalam merawat peradaban, identitas, dan integritas budaya nasional.
Kegagalan dalam melindunginya bukan hanya berarti kehilangan artefak masa lalu, tetapi juga mencerminkan kelalaian kolektif dalam menjaga nilai-nilai luhur yang membentuk jati diri kita sebagai bangsa.
Oleh karena itu, pelestarian Candi Muaro Jambi harus dijadikan prioritas dalam agenda pembangunan nasional dengan pendekatan lintas sektor, partisipatif, dan berkelanjutan yang tidak tunduk pada logika ekonomi sesaat, tetapi berpihak pada warisan budaya yang tak tergantikan.
Inilah saatnya kita membuktikan bahwa pembangunan dan pelestarian bukan dua kutub yang saling meniadakan, melainkan bisa berjalan beriringan dalam satu tarikan napas kebangsaan.(*)
Oleh:
Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP
Akademisi UIN STS Jambi
Social Header