WALI KOTA Jambi Maulana tengah mendorong penerapan sistem pembayaran non tunai menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) untuk layanan parkir di seluruh wilayah Kota Jambi.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya menciptakan "Kota Jambi Bahagia" dan mengintegrasikan pelayanan publik dengan teknologi digital, sejalan dengan semangat menuju Smart City.
Namun, di tengah euforia digitalisasi layanan publik, muncul pertanyaan mendasar apakah kebijakan ini sudah memiliki dasar hukum ? Apakah sudah ada Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Wali Kota (Perwali) yang secara khusus mengatur penerapan sistem parkir non tunai ini.
OPINI Penguatan Dana Desa Tematik Gizi: Fondasi Kesehatan dari Akar Rumput
Faktanya, Perda Nomor 3 Tahun 2010 dan Perwali Nomor 32 Tahun 2018 belum secara spesifik mengatur tentang mekanisme parkir non tunai, termasuk tarif, pengelolaan, sanksi pelanggaran, hingga tanggung jawab penyedia layanan.
Ketidakhadiran regulasi yang jelas berpotensi menciptakan kekacauan dalam implementasi dan tata kelola layanan parkir di lapangan.
Edukasi dan sosialisasi kepada para juru parkir (jukir) serta masyarakat pengguna jasa parkir juga menjadi hal krusial.
Masyarakat harus memahami bahwa pembayaran parkir melalui QRIS adalah metode resmi dan sah, sedangkan jukir wajib dibekali dengan QR Code resmi untuk menghindari kesalahpahaman dan praktik pungutan liar.
Di sisi lain, banyak jukir masih menagih uang parkir tanpa karcis dan tanpa dasar hukum yang jelas. Praktik ini berpotensi dikategorikan sebagai pungutan liar yang melanggar hukum, bahkan bisa dijerat dengan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan.
Masyarakat berhak menolak pungutan tersebut dan melaporkannya kepada aparat penegak hukum seperti kepolisian atau dinas perhubungan.
Tak kalah penting, Pemkot Jambi harus menyediakan lahan parkir yang layak jika ingin menarik retribusi parkir. Sesuai prinsip retribusi, pemerintah hanya boleh memungut biaya atas jasa yang memang disediakan.
OPINI Apakah Pengembalian Dana Dapat Hentikan Perkara Parkir Angso Duo?
Tanpa fasilitas parkir yang jelas, pemungutan retribusi parkir menjadi tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan bisa dianggap sebagai pungutan yang tidak sah.
Selain retribusi, pemerintah juga memiliki kewenangan menarik pajak parkir dari pengusaha penyedia lahan parkir.
Perbedaan antara pajak dan retribusi harus dipahami, termasuk subjek, objek, dan peraturan yang mengatur keduanya.
Ini penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah.
Jika pemerintah menyediakan lahan parkir di pasar tradisional, misalnya, maka mereka berhak menarik retribusi dari pengguna.
OPINI Penertiban PKL di Jambi Berpotensi Gugatan Hukum
Namun, jika tidak ada lahan yang disediakan dan masyarakat parkir di tepi jalan umum, maka tidak ada dasar yang sah untuk memungut biaya parkir.
Kesimpulannya, kebijakan parkir digital berbasis QRIS adalah langkah maju, tetapi tidak bisa dijalankan tanpa payung hukum yang kuat.
Pemerintah tidak boleh bertindak semaunya, karena mengatur daerah tidak bisa disamakan dengan mengelola perusahaan swasta.
Harus ada perencanaan, konsultasi publik, dan regulasi yang disusun dengan matang demi menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik.
Masyarakat berhak atas pelayanan publik yang tertib, sah secara hukum, dan tidak merugikan.
Jika ingin mewujudkan Kota Jambi yang bahagia dan modern, maka semuanya harus dimulai dari kebijakan yang berbasis hukum, adil, dan berpihak pada kepentingan publik.(*)
Semarang, 26 Juni 2025
Oleh: Firmansyah, SH., MH
Praktisi Hukum dan Pengamat Kebijakan Publik
Social Header