Perusahaan dianggap motor utama pembinaan, penyokong event, sekaligus pilar profesionalisme.
Gagasan ini tampak menarik, tetapi jika ditelan mentah-mentah justru berbahaya: ia berpotensi mereduksi olahraga menjadi sekadar komoditas bisnis, cuci tangan pemerintah daerah membiayai secara ala kadar dunia olahraga untuk berprestasi.
Realitas di lapangan menunjukkan, sponsorship swasta hanya mengalir deras pada cabang yang dianggap menguntungkan secara citra—seperti sepak bola atau bulu tangkis.
Atlet dari cabang lain seperti anggar, senam, atau dayung sering berjuang dengan fasilitas seadanya.
Data Kementerian Pemuda dan Olahraga (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 70% dana sponsor olahraga nasional terserap ke sepak bola, sementara cabang-cabang lain bergantung pada anggaran negara yang terbatas (Kemenpora, Laporan Tahunan Pembinaan Olahraga, 2023).
Ketidakadilan ini membuktikan bahwa kepentingan bisnis tidak selalu sejalan dengan kepentingan pembangunan olahraga nasional.
Keterlibatan perusahaan kerap menciptakan ketergantungan. Kasus PB Djarum adalah contoh gamblang: audisi bulutangkis mereka pernah menuai kontroversi karena dinilai menjadi kedok promosi rokok (Komnas Perlindungan Anak, 2019).
Ketika kepentingan bisnis berbenturan dengan regulasi, dukungan swasta bisa berhenti seketika, meninggalkan kekosongan besar dalam pembinaan atlet.
Kajian Coalter (2007) dalam A Wider Social Role for Sport juga menekankan bahwa model olahraga berbasis sponsor rentan tidak berkelanjutan karena logika komersial berbeda dengan logika pembangunan sosial.
Konstitusi jelas menempatkan negara sebagai penanggung jawab utama olahraga. Pasal 28C UUD 1945 menegaskan hak warga negara untuk mengembangkan diri, termasuk melalui olahraga.
Jika narasi korporasi sebagai motor utama diglorifikasi, negara bisa bersembunyi di balik peran swasta. Padahal, studi global menunjukkan keberhasilan olahraga nasional justru ditopang oleh desain kebijakan publik yang kuat.
Tiongkok, misalnya, menempatkan pembinaan atlet sebagai agenda negara melalui State General Administration of Sport (Hong Fan, China’s Sports Policy and Politics, 2018).
Sementara, Uni Eropa menekankan prinsip sport as a public good dalam White Paper on Sport (European Commission, 2007).
Olahraga bukan hanya soal medali, tetapi juga ruang rekreasi, kesehatan, dan pembentukan karakter warga.
Jika semua diarahkan pada kepentingan branding, maka olahraga masyarakat akan terpinggirkan.
Stadion dan even bisa jadi eksklusif penuh iklan, sementara ruang terbuka publik yang menopang olahraga warga justru terabaikan.
Seperti dicatat Giulianotti (2015) dalam Sport: A Critical Sociology, komersialisasi berlebihan justru bisa mengasingkan olahraga dari akar sosialnya.
Korporasi memang bisa menjadi mitra penting. Namun, posisinya seharusnya sebagai pelengkap, bukan pengendali.
Negara tetap harus memimpin, dengan memastikan regulasi yang adil, pendanaan yang merata, dan perlindungan terhadap cabang olahraga yang tidak komersial.
Dengan begitu, olahraga bisa kembali ke hakikatnya: bukan sekadar pasar, melainkan hak publik untuk tumbuh sehat, berprestasi, dan berdaya.
Daftar Pustaka
Coalter, F. (2007). A Wider Social Role for Sport: Who's Keeping the Score? Routledge.
European Commission. (2007). White Paper on Sport. Brussels: EU Publications.
Fan, H. (2018). China’s Sports Policy and Politics. Routledge.
Giulianotti, R. (2015). Sport: A Critical Sociology. Polity Press.
Kementerian Pemuda dan Olahraga RI. (2023). Laporan Tahunan Pembinaan Olahraga Nasional.
Komnas Perlindungan Anak. (2019). Catatan Kritis atas Audisi Bulu Tangkis PB Djarum.
Oleh: Dr Noviardi Ferzi
Akademisi
Social Header