KASUS pengelolaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) PetroChina International Jabung Ltd oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Tuang (PUPR) Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tanjabtim) kembali membuka tabir lemahnya tata kelola keuangan daerah, khususnya dalam pelaksanaan proyek secara swakelola oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap dugaan kerugian negara yang cukp signifikan dari sejumlah paket pekerjaan yang dibiayai oleh dana Corporate Social Responsibility (CSR) PetroChina dan dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Tanjung Jabung Timur tanpa melibatkan pihak ketiga.
OPINI BLUD untuk SMK: Transformasi Vokasi dari Jambi Menuju Kemandirian dan Relevansi
Pelaksanaan proyek secara swakelola ini, meskipun bersumber dari dana di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tetap berada dalam cakupan kewajiban hukum dan administrasi negara.
Ketika dana CSR dikelola oleh institusi pemerintahan, maka seluruh prinsip tata kelola keuangan negara secara otomatis berlaku, termasuk keharusan transparansi, akuntabilitas, dan dokumentasi yang dapat diaudit.
Ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip ini membuka ruang bukan hanya bagi pemborosan atau ketidakefisienan anggaran, tetapi juga mengindikasikan potensi terjadinya tindak pidana korupsi.
Penggunaan dana publik—baik yang bersumber dari APBD maupun CSR—tanpa prosedur yang sah dan pengawasan yang memadai kerap menjadi celah penyalahgunaan kewenangan, manipulasi laporan pertanggungjawaban, hingga penggelapan.
OPINI Mengawal Investasi Demi Masa Depan Berkelanjutan, Perspektif Atas Polemik TUKS PT SAS
Dalam konteks ini, temuan BPK bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan dapat menjadi pintu masuk bagi penegakan hukum yang lebih serius oleh aparat penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, atau Kepolisian.
Antara Swakelola dan Ketidakpatuhan Regulasi
Swakelola dalam konteks pelaksanaan proyek pemerintah mengacu pada mekanisme di mana kegiatan dilaksanakan langsung oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dengan memanfaatkan sumber daya internal, tanpa melibatkan pihak ketiga atau kontraktor.
Dalam regulasi keuangan negara, skema ini diperbolehkan—termasuk untuk dana CSR—selama dijalankan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip tata kelola yang baik: transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan pengawasan yang memadai.
Namun, temuan BPK dalam kasus pengelolaan dana CSR PetroChina oleh Dinas PUPR Tanjung Jabung Timur justru menunjukkan pelanggaran serius atas prinsip-prinsip tersebut.
OPINI Pemasaran Pariwisata di Provinsi Jambi 2025–2029: Menjual Pesona, Merajut Harapan
Mulai dari tidak lengkapnya dokumen perencanaan dan pertanggungjawaban, ketiadaan kontrak kerja formal, lemahnya sistem pengawasan internal, hingga absennya nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah daerah dan pihak perusahaan sebagai dasar hukum penggunaan dana.
Lebih jauh, proses pengadaan barang dan jasa yang tidak mengikuti ketentuan perundang-undangan memperlihatkan adanya kelalaian struktural yang berpotensi membuka ruang penyimpangan secara sistematis.
Kondisi ini bukan sekadar pelanggaran prosedural, melainkan juga menciptakan lingkungan yang rawan terhadap praktik korupsi. Ketidaktertiban administrasi dan lemahnya kontrol internal merupakan pola umum dalam berbagai kasus penyalahgunaan anggaran di sektor publik.
Ketika dana publik—dalam hal ini CSR—digunakan tanpa mekanisme pengawasan yang sah dan tanpa dasar hukum yang kuat, maka potensi terjadinya manipulasi laporan, penggelapan, hingga kolusi menjadi sangat besar.
Oleh karena itu, pelanggaran dalam ‘praktik swakelola dalam tanda kutip’ tidak hanya harus dikoreksi secara administratif, tetapi juga perlu dicermati sebagai indikasi awal dari potensi tindak pidana korupsi.
CSR Bukan Uang Bebas Regulasi
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 menegaskan bahwa dana CSR maupun hibah yang diterima pemerintah daerah harus dikelola secara tertib, transparan, dan akuntabel, meskipun tidak masuk dalam struktur APBD.
Pengelolaannya harus dipisahkan dari dana daerah namun tetap mengikuti standar keuangan negara, termasuk dalam dokumentasi dan pelaporan.
Dengan kata lain, dana CSR bukanlah uang bebas regulasi yang bisa dikelola tanpa prosedur. Ketika pengelolaan dilakukan oleh OPD, tanggung jawab administrasi dan hukum tetap melekat dan wajib dipenuhi, sama halnya seperti dana yang bersumber dari APBD.
Fenomena Sistemik, Bukan Kasus Tunggal
Kasus Tanjabtim bukan satu-satunya. Laporan BPK dan kajian akademis mencatat bahwa kelemahan dalam pengelolaan dana CSR kerap ditemukan di berbagai daerah lain, seperti di Kalimantan Timur dan Papua.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa persoalan tersebut bersifat sistemik—bukan insidental—dan mencerminkan belum adanya standar operasional baku yang diterapkan secara nasional dalam pengelolaan dana CSR oleh pemerintah daerah.
Lebih dari itu, banyak pemerintah daerah yang belum memiliki regulasi khusus dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Bupati (Perbup) yang mengatur tata kelola CSR secara komprehensif.
Di sisi lain, kapasitas aparatur juga masih terbatas dalam memahami prosedur keuangan negara yang seharusnya diterapkan meski dana berasal dari luar APBD.
Jalan Pembenahan
Pembenahan sistemik menjadi kebutuhan mendesak. Pemerintah daerah perlu menyusun dan menetapkan regulasi lokal yang secara spesifik mengatur penerimaan, penggunaan, pengawasan, dan pelaporan dana CSR.
Selain itu, penyusunan SOP yang rinci dan pelatihan teknis bagi OPD juga perlu dilakukan agar praktik swakelola tidak menyalahi prinsip tata kelola keuangan yang berlaku.
Pengawasan internal perlu diperkuat, baik oleh inspektorat daerah maupun oleh DPRD dan masyarakat sipil. Digitalisasi sistem pelaporan juga menjadi keniscayaan agar publik dapat memantau langsung aliran dana CSR dan realisasi programnya.
Momen Koreksi Tata Kelola
Temuan BPK terhadap pengelolaan dana CSR PetroChina harus menjadi momentum koreksi bagi seluruh pemerintah daerah. Tata kelola keuangan daerah tidak bisa membiarkan adanya area abu-abu hanya karena sumber dananya non-APBD.
Integritas dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik, apapun bentuk dan sumbernya, adalah fondasi utama bagi pembangunan daerah yang inklusif dan berkelanjutan.
Sudah saatnya pemerintah daerah memandang dana CSR sebagai bagian dari tanggung jawab besar dalam ekosistem tata kelola pembangunan, bukan sekadar "bonus" dari perusahaan yang bisa digunakan secara fleksibel tanpa pertanggungjawaban yang jelas.
Pandangan semacam ini harus ditinggalkan, karena justru membuka celah terjadinya penyimpangan, terutama ketika dana dikelola tanpa dasar hukum yang kuat, tanpa pengawasan yang ketat, dan tanpa mekanisme pelaporan yang transparan.
Sebagai bagian dari uang publik yang digunakan untuk kepentingan masyarakat, setiap rupiah yang digunakan atas nama pembangunan harus tunduk pada prinsip dasar pengelolaan keuangan negara: dapat diaudit, dapat dipertanggungjawabkan, dan memberikan manfaat nyata.
Pendekatan ini bukan hanya untuk menjamin efektivitas penggunaan dana, tetapi juga merupakan strategi fundamental dalam mencegah tindak pidana korupsi.
Dengan membangun sistem tata kelola CSR yang transparan, terdokumentasi, dan akuntabel—serta melibatkan pengawasan dari masyarakat dan lembaga independen—pemerintah daerah dapat menutup ruang bagi penyalahgunaan kewenangan.
Pencegahan korupsi tidak selalu harus dimulai dari penindakan; justru melalui regulasi yang kuat dan praktik administrasi yang disiplin, pemerintah dapat menciptakan benteng awal yang efektif untuk menolak segala bentuk potensi korupsi dalam pengelolaan dana pembangunan, termasuk CSR.(*)
Oleh: Martayadi Tajuddin
Pengamat Kebijakan Pembangunan Daerah, Infrastruktur, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan.
Social Header