MAKALAMANEWS.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2024 tentang Kabupaten Batanghari di Provinsi Jambi. Permohonan tersebut diajukan oleh Bupati Batanghari Fadhil Arief dan Ketua DPRD Kabupaten Batanghari Rahmad Hasrofi, yang terdaftar sebagai Pemohon dalam Perkara Nomor 31/PUU-XXIII/2025.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan kata ‘Batanghari’ dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2024 tentang Kabupaten Batanghari di Provinsi Jambi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Batang Hari’, sehingga ditulis menjadi ‘Batang Hari’,” ucap Ketua MK Suhartoyo dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Selasa (27/5/2025) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan bahwa penulisan nama daerah memiliki makna penting yang tidak hanya bersifat administratif, melainkan juga mencerminkan identitas sosial, budaya, dan historis masyarakat setempat.
"Penamaan suatu daerah bukan sekadar pemberian nama, tetapi bagian dari upaya pelestarian identitas budaya dan sosial masyarakat," ujar Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan hukum.
MK menyatakan bahwa penulisan nama “Batanghari” secara serangkai dalam UU 37/2024 tidak sesuai dengan sejarah dan peraturan perundang-undangan sebelumnya. Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap sejumlah regulasi, termasuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 dan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 1993, Mahkamah menemukan bahwa penulisan yang benar adalah “Batang Hari,” ditulis terpisah dengan huruf kapital di awal masing-masing kata.
"Mahkamah menilai nama ‘Kabupaten Batang Hari’ terdiri atas dua kata yang masing-masing memiliki makna berbeda, namun saling berkaitan. Oleh karena itu, harus ditulis secara terpisah," tegas Arief.
Mahkamah juga menyoroti fakta bahwa sebagian besar papan nama instansi pemerintah dan lembaga pendidikan di wilayah tersebut menggunakan penulisan “Batang Hari”, yang memperkuat argumen Pemohon mengenai kekeliruan dalam UU 37/2024.
Atas dasar itu, MK menyatakan frasa “Kabupaten Batanghari” dalam UU 37/2024 bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 18 ayat (2) dan (5), dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sejauh tidak dimaknai sebagai “Kabupaten Batang Hari”.
Penetapan Hari jadi Tidak Dikabulkan
Sementara itu, permohonan Pemohon terkait tanggal pembentukan Kabupaten Batang Hari ditolak oleh Mahkamah. Pemohon meminta agar tanggal pembentukan dikembalikan ke 1 Desember 1948, sesuai dengan Peraturan Komisaris Pemerintah Pusat Nomor 81/KOM/U Tahun 1948 yang dianggap sebagai dasar hukum pertama pembentukan Kabupaten Batang Hari.
Namun, MK menilai bahwa tanggal 29 Maret 1956 yang tercantum dalam Pasal 2 UU 37/2024 merupakan tanggal yang sah secara yuridis, karena merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1956.
“Secara historis, Kabupaten Batang Hari memang telah ada sejak 1 Desember 1948, namun secara yuridis administratif dibentuk pada 29 Maret 1956. Kedua tanggal ini tidak perlu dipertentangkan dan dapat dijadikan penanda lahirnya kabupaten tersebut,” kata Arief.
Mahkamah menyimpulkan bahwa penetapan hari jadi merupakan kewenangan pemerintah daerah bersama DPRD. Oleh karena itu, dalil Pemohon dalam hal ini dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Sebelumnya, perubahan penulisan nama kabupaten dinilai oleh Pemohon telah mengaburkan nilai-nilai sejarah dan budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur masyarakat Batanghari.
Nama ‘Kabupaten Batang Hari’ memiliki nilai historis, ditetapkan sejak 1 Desember 1948 melalui Peraturan Komisaris Pemerintah Pusat di Bukittinggi Nomor: 81/KOM/U.
Perayaan Hari Jadi Kabupaten Batang Hari yang rutin diperingati setiap 1 Desember merupakan bentuk penghormatan terhadap sejarah dan budaya lokal.
Para Pemohon menilai bahwa penulisan "Batanghari" tanpa spasi dalam UU Kabupaten Batanghari menimbulkan kekeliruan terkait identitas daerah—termasuk lokasi, budaya, dan karakteristik khas yang telah dikenal luas oleh masyarakat.
Mereka berpendapat, hal ini bertentangan dengan kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945, yang mewajibkan daerah untuk melindungi nilai-nilai budaya dan sejarah setempat.
Selain persoalan penulisan nama, para Pemohon juga mempermasalahkan tanggal pembentukan kabupaten yang tercantum dalam Pasal 2 UU Kabupaten Batanghari. UU a quo menyebutkan bahwa tanggal pembentukan Kabupaten Batanghari adalah 29 Maret 1956, merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1956.
Namun, Pemohon menilai hal ini bertentangan dengan fakta sejarah dan mengusulkan agar tanggal pembentukan dikembalikan ke 1 Desember 1948, sebagaimana tertuang dalam peraturan yang dikeluarkan di Bukittinggi pada 30 November 1948.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan bahwa frasa “Kabupaten Batanghari” dalam UU Nomor 37 Tahun 2024 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sejauh tidak dimaknai sebagai “Kabupaten Batang Hari.” Mereka juga meminta agar ketentuan Pasal 2 mengenai tanggal pembentukan dikoreksi sesuai dengan sejarah pembentukan daerah tersebut pada 1 Desember 1948.(*)
Social Header