PERJANJIAN Kerja Sama antara Pemerintah Provinsi Jambi dengan PT Putra Kurnia Properti yang ditandatangani pada 9 Juni 2014 patut mendapat sorotan tajam dari aspek hukum dan perlindungan aset negara.
Perjanjian tersebut mengatur pembangunan dan pengelolaan kawasan Jambi Business Center (JBC) melalui skema Build Operate Transfer (BOT) selama 30 tahun, hingga tahun 2044.
Sebagaimana dokumen perjanjian yang saya telaah—diperoleh dari pegiat lingkungan di Jambi—terdapat sejumlah klausul yang berpotensi merugikan kepentingan daerah, bahkan membuka ruang terjadinya tindak pidana. Pemerintah Provinsi Jambi dalam perjanjian ini menyerahkan aset berupa tanah seluas 76.750 m², bersertifikat Hak Pakai, kepada pihak swasta sebagai kontribusi terhadap proyek JBC.
Pihak kedua, yakni pengembang, diberi Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah tersebut.
HGB yang diberikan di atas tanah HPL (Hak Pengelolaan) milik pemerintah memungkinkan pengembang untuk mendirikan bangunan komersial, menjual unit, bahkan mengagunkan aset yang notabene dulunya merupakan milik publik.
Jika pengembang kemudian gagal membayar kewajiban kredit yang dijaminkan dengan SHGB tersebut, bukan tidak mungkin tanah dan aset bangunan di kawasan JBC jatuh ke tangan pihak ketiga.
Belum lagi dengan SHGB pengembang dapat menjual/mengalihkan kepihak ketiga atau konsumen, Ini tentu berisiko besar bagi kepemilikan dan pengelolaan aset daerah.
Karena Secara hukum, HGB dapat diperpanjang atau diperbarui, yang berarti negara tidak secara otomatis dapat menarik kembali tanah setelah masa perjanjian habis.
Ini semakin memperlemah posisi pemerintah sebagai pihak pemilik lahan, terutama jika dalam prosesnya tidak ada pengawasan dan perlindungan hukum yang memadai.
Bahkan, dalam perjanjian disebutkan bahwa pembangunan kawasan JBC harus rampung dalam waktu maksimal 60 bulan.
Jika tenggat ini terlewati tanpa sanksi tegas, maka semakin terbukti lemahnya posisi pemerintah dalam kontrak tersebut.
Saya memandang, kealfaan atau kelalaian dalam menyusun dan menandatangani perjanjian ini dapat dikategorikan sebagai bentuk penyimpangan administratif yang berdampak pada potensi hilangnya aset negara.
Apalagi bila ditemukan unsur kesengajaan atau kepentingan tertentu yang melatarbelakangi pemberian hak atas tanah publik kepada pihak swasta secara berlebihan.
Ke depan, perjanjian seperti ini harus ditinjau ulang secara menyeluruh, baik dari aspek legal standing para pihak, nilai investasi yang proporsional, maupun mekanisme perlindungan atas aset daerah. Negara tidak boleh kalah dalam kontrak yang menyangkut kepentingan publik.
Akan ada pembahasan lanjutan mengenai aspek-aspek teknis dan indikasi hukum lainnya dari proyek JBC ini.(*)
Jakarta, 20 Mei 2025
Oleh: Firmansyah
Pendiri LBH Singinjai
Social Header