MAKALAMNEWS.ID - Belakangan viral penangkapan anak diduga geng motor di Kota Jambi oleh pihak kepolisian.
Pelaku membuat korban anak mengalami luka parah dan dirawat di satu RSUD di Kota Jambi.
Banyak komentar netizen yang mempertanyakan kenapa anak pelaku geng motor disamarkan (blur) wajahnya, seperti komentar netizen yang banyak kita temukan diberbagai akun Instagram yang menginformasikan berbagai kejadian di Provinsi Jambi.
Terkait hal tersebut, Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Kelas I Jambi yang merupakan satu unsur aparat penegak hukum (APH) terkait penanganan perkara anak memberikan pencerahan hukum untuk menjawab pertanyaan netizen.
Pihak Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Kelas I Jambi meminta kepada warga Jambi maupun awak media cetak, media elektronik, media sosial maupun netizen agar jangan sembarangan mempublikasikan atau menyebarkan informasi lewat media sosial (medsos) atau memberitakan terkait Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), baik anak pelaku, anak korban maupun anak saksi.
Menurut Kasubsi Bimkemas Bimbingan Klien Anak (BKA) Bapas Kelas I Jambi, Ilham Kurniadi, S.Tr.Pas ada aturan yang melarang untuk mempublikasikan ABH tersebut.
"ABH itu anak pelaku tindak pidana atau anak yang menjadi korban tindak pidana serta anak yang menjadi saksi suatu tidak pidana. Jadi ABH ini wajib hukumnya dirahasiakan nama, identitas, alamat dan sebagainya," kata alumni Diklat Terpadu Sistem Peradilan Pidana Anak Angkatan 82 ini.
Dijelaskan Ilham, sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Pasal 19 Ayat 1 bahwa identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan media cetak ataupun elektronik.
Sedangkan ayat 2 berbunyi, identitas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi nama anak pelaku, nama anak korban, nama anak saksi, nama orangtua, alamat, wajah dan hal lain yang dapat mengungkap jati diri anak, anak korban, dan/atau saksi.
Sanksi atas pelanggaran UU SPPA Pasal 19 Ayat 1 ini sesuai pasal 97 yaitu pidana penjara 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.
"Jadi, jelas sekali bahwa anak itu tidak boleh diberitakan secara vulgar baik mengenai nama, alamat dan identitas anak sebab ancaman hukumannya cukup berat. Untuk itu berhati-hatilah bila menulis atau men-share tentang anak," katanya.
Ilham menjelaskan, jika menampilkan video maupun foto anak pelaku, anak korban maupun anak saksi maka wajib hukumnya untuk disamarkan (blur) sehingga tidak kelihatan identitasnya.
"Kasus anak bukan tidak boleh diberitakan. Ya boleh saja. Asalkan jangan mengungkap identitas, alamat, sekolah, nama keluarga dan petunjuk yang mengarah kepada Identitas anak. Jadi media massa maupun media sosial harus tetap menjalankan fungsi kontrol sosial agar masyarakat tetap waspada sekaligus menjadi efek jera bagi pelaku. Intinya harus memperhatikan kode etik pemberitaan kasus anak yang mengacu pada regulasi yang ada," ujarnya.
"Jangankan untuk mempublikasikan wajah/identitas anak pelaku, untuk mempublikasikan wajah/identitas anak saksi pun dilarang dalam UU SPPA tersebut," sambung lulusan Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (POLTEKIP) Angkatan 51 ini.
Dijelaskannya, anak yang menjadi saksi tindak pidana (anak saksi), yaitu anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
Dari ketentuan di atas, anak yang menjadi saksi dapat dikategorikan sebagai anak saksi, sehingga perlindungan hukumnya tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Sehingga, secara hukum setiap orang memang dilarang untuk membocorkan rahasia identitas anak saksi, termasuk orang tua anak saksi, di media cetak atau elektronik maupun media sosial. Jika dilanggar, maka yang bersangkutan dapat dilaporkan dan memenuhi unsur pidana.
Maka dari itu, Ilham meminta kepada seluruh pihak untuk memahami amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
"Jangan sampai kita latah untuk menyebutkan/mempublikasikan identitas anak yang berhadapan dengan hukum, baik anak pelaku, anak korban maupun anak saksi, karena ada unsur pidananya bila kita mempublikasikan identitas anak tersebut sebagaimana tercantum dalam pasal 97 UU SPPA," ujarnya.
"Saya juga ingin menambahkan agar orangtua atau keluarga anak yang disangkakan sebagai pelaku tindak pidana agar segera meminta pendampingan kepada Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas Kelas I Jambi agar dalam setiap proses pemeriksaan anak pelaku berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku sebagaimana tercantum dalam pasal 24 Ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak," pungkasnya.(*)
Social Header